KOMPETENSI PEDAGOGIK
KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK
PENULIS: HARI WIBOWO dkk.
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TAHUN 2016
Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Guru | Indikator Pencapaian Kompetensi |
1. Memahami karakteristik akseptor didik yang berkaitan dengan aspek fisik , intelektual , sosial-emosional , moral , spiritual , dan latar belakang sosial budaya. 2. Mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu 3. Mengidentifikasi bekal-awal peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu 4. Mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik | 1.1.Menyebutan huruf peserta didik yang berkaitan dengan aspek perkembangan fisik 1.2. Menjelaskan perkembangan kognitif 1.3. Mengidentifikasi perkembangan sosial-emosional akseptor didik 1.4. Memberi teladan perilaku yang mencerminkan moral dan spiritual peserta didik 1.5. Membandingkan latar belakang budaya sosial budaya 2.1 Menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi potensi peserta didik 2.2 Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi potensi peserta didik 3.1 Menjelaskan konsep bekal awal 3.2 Mengidentifikasi teknik-teknik bekal awal 4.1 Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kesulitan belajar 4.2 Mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik 4.1 Merancang kegiatan untuk mengatasi kesulitan belajar |
I. PERKEMBANGAN KOGNITIF PESERTA DIDIK
A. Pengertian
Kognitif atau pemikiran ialah istilah yang digunakan oleh jago psikologi untuk menjelaskan semua acara mental yang bekerjasama dengan persepsi , pikiran , ingatan dan pengolahan berita yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan , memecahkan problem , dan merencanakan masa depan , atau semua proses psikologis yang berkaitan bagaimana individu mempelajari , memperhatikan , mengamati , membayangkan , memperkirakan , menilai dan memikirkan lingkungannya. (Desmita , 2009)
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Guru harus mengetahui wacana faktor-faktor yang mensugesti akseptor didik. Yang sangat sentral dalam factor-faktor yang mensugesti perkembangan kognitif ialah gaya pengasuhan dan lingkungan. Biasanya gaya pengasuhan lebih diterapkan pada anak-anak. Pada pengasuhan ini merupakan cika lbakal perkembangan kognitif tersebut , karena ketika anak diasuh secara tidak sesuai dengan semestinya , ini akan berakibat pada perkembangan kognitif anak , bahkan pada perkembangan mental anak tersebut. Lingkungan pun sangat besar lengan berkuasa pada perkembangan kognitif , semakin buruk lingkungan maupun pergaulan seseorang maka kemungkinan pengaruh lingkungan pada perkembangan kognitif anak semakin besar. (Wibowo , 2016)
C. Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Empat tahap perkembangan kognitif siswa menurut Piaget ialah sebagai berikut.
1. tahap sensori motor (0–2 tahun)
Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan berguru untuk menggunakan dan mengatur kegiatan fIsik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap ini , pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) badan dan alat-alat indera mereka.
2. tahap pra-operasional (2–7 tahun)
Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun) , seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera , sehingga ia belum bisa untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten
3. tahap operasional nyata (7–11 tahun)
Pada tahap Operasional nyata (7-11 tahun) , umumnya anak sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar. Di tahap ini , seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata atau dengan menggunakan benda nyata , dan bisa mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersamasama (misalnya , antara bentuk dan ukuran).
4. tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun)
Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun) , kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan kognitif. (Doyin , 2015)
II. PERKEMBANGAN FISIK PESERTA DIDIK
Kuhlen dan Thompson mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek , yaitu:
(a) Otot-otot , yang mensugesti perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik;
(b) Sistem syaraf yang sangat memengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi;
(c) Kelenjar Endokrin , yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku gres , menyerupai pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan , yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis;
(d) Struktur fisik/tubuh , yang meliputi tinggi , berat , dan proporsi.
Seifert dan Hoffnung (1994) berpendapat perkembangan fisik meliputi perubahan-perubahan dalam badan (seperti : pertumbuhan otak , sistem saraf , organ-organ indrawi , pertambahan tinggi dan berat , hormon , dan lain-lain) , dan perubahan-perubahan dalam cara individu dalam menggunakan tubuhnya (seperti perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual) , serta perubahan dalam kemampuan fisik (seperti penurunan fungsi jantung , penglihatan , dan sebagainya).
III. PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL PESERTA DIDIK
Selain perkembangan karakteristik fisik dan kognitif akseptor didik , yang tidak kalah penting ialah perkembangan sosial-emosional akseptor didik. Sosio-emosional berasal dari kata sosial dan emosi. Perkembangan sosial ialah pencapaian kematangan dalam relasi atau interaksi sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses berguru untuk mengikuti keadaan dengan norma-norma kelompok , tradisi dan moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor secara umum dikuasai yang mensugesti tingkah laku individu , dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi dibedakan menjadi dua , yakni emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif menyerupai perasaan senang , berangasan , bersemangat , atau rasa ingin tahu yang tinggi akan mensugesti individu untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap acara belajar. Emosi negatif sperti perasaan tidak senang , kecewa , tidak berangasan , individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk berguru , sehingga kemungkinan besar beliau akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Selain itu , dari segi etimologi , emosi berasal dari akar kata bahasa Latin ‘movere’ yang berarti ‘menggerakkan , bergerak’. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e-‘ untuk memberi arti ‘bergerak menjauh’. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Perkembangan sosio-emosional akseptor didik termasuk suatu pembahasan yang sangat penting karena dengan mengetahui perkembangan sosio-emosional akseptor didik , para pendidik dapat mengambil tindakan pada permasalahan akseptor didik dengan banyak sekali karakteristik dan sifat yang berbeda-beda. Sosio-emosional ialah perubahan yang terjadi pada diri setiap individu dalam warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Dalam pembahasan sosio-emosional ini lebih ditekankan dalam sosioemosional pada remaja. Pada masa remaja , tingkat karakteristik emosional akan menjadi drastis tingkat kecepatannya. Gejala-gejala emosional para remaja menyerupai perasaan sayang , cinta dan benci , harapan-harapan dan putus asa , perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai pendidik. kita harus mengetahui setiap aspek yang bekerjasama dengan perubahan tingkah laku dalam perkembangan remaja , serta memahami aspek atau gejala tersebut sehingga kita bisa melaksanakan komunikasi yang baik dengan remaja. Perkembangan emosi remaja merupakan suatu titik yang mengarah pada proses dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sikap kanak-kanak akan sulit dilepaskan pada diri remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Faktor yang sangat memengaruhi perkembangan akseptor didik pada usia remaja yaitu didikan orang renta , lingkungan sekitar daerah tinggal dan perlakuan guru di sekolah. Pengaruh sosio-emosional yang baik pada remaja terhadap diri sendiri yaitu untuk mengendalikan diri , memutuskan segala sesuatu dengan baik , serta bisa lebih merencanakan segala hal yang akan diputuskannya , sedangkan terhadap orang lain , yaitu bisa menjalin kerjasama yang baik , saling menghargai dan bisa memposisikan diri di lingkungan dengan baik. Agar seorang akseptor didik dapat memiliki kecerdasan emosi dengan baik haruslah dibentuk semenjak usia dini , karena pada ketika itu sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan insan selanjutnya. Sebab pada usia ini dasar-dasar kepribadian anak telah terbentuk. Jelaslah sudah betapa pentingnya seorang pendidik memahami perkembangan sosio-emosional akseptor didik , semoga dalam proses pembelajaran perkembangan sosio-emosional akseptor didik yang berbeda-beda dapat diatasi dengan baik.
IV. PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK
Seto Mulyadi (2002a) menyatakan wacana Robert Coles yang menggagas wacana kecerdasan moral yang juga memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang dalam hidupnya. Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang anak untuk bisa menghargai dirinya sendiri maupun diri orang lain , memahami perasaan terdalam orang-orang di sekelilingnya , mengikuti aturan-aturan yang berlaku , semua ini termasuk merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak di masa depan. Suasana hening dan penuh kasih sayang dalam keluarga , contoh-contoh nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain , ketekunan dan keuletan menghadapi kesulitan , sikap disiplin dan penuh semangat , tidak mudah putus asa , lebih banyak tersenyum daripada cemberut , semua ini memungkinkan anak menyebarkan kemampuan yang bekerjasama dengan kecerdasan kognitif , kecerdasan emosional maupun kecerdasan moralnya.
Teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada daypikir moral dan berkembang secara bertahap yaitu: Penalaran prakovensional , konvensional , dan pascakonvensional.
1) Tingkat Satu: Penalaran Prakonvesional
Penalaran prakonvensional ialah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini , anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral , daypikir moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Contoh dalam dunia pendidikan: Peserta didik mau berguru kalau mendapatkan hadiah uang.
2) Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional ialah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Seorang menaati standar-standar (internal) tertentu , tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain , menyerupai orangtua atau masyarakat.
Contoh: siswa di satu kesempatan mau berguru dengan tekun karena kesadaran sendiri tetapi tidak mau menaati perintah orang renta yang mengharuskan berguru dari pukul 19.00 hingga dengan pukul 21.00
3) Tahap Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional ialah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini , moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif , menjajaki
pilihan-pilihan , dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu isyarat moral pribadi.
Contoh : Anak dengan penuh kesadaran menaati tata tertib sekolah baik diawasi atau tidak , ada sanksi atau tidak.
V. BEKAL AWAL PESERTA DIDIK
Bekal asuh awal akseptor didik dapat pula diartikan kemampuan awal (entry behavior)
adalah kemampuan yang yang telah diperoleh akseptor didik sebelum beliau memperoleh kemampuan terminal tertentu yang baru. Kemampuan awal menunjukkan status pengetahuan dan keterampilan akseptor didik sekarang untuk menuju ke status yang akan datang yang diinginkan guru semoga tercapai oleh akseptor didik. Dengan kemampuan ini dapat ditentukan darimana pengajaran harus dimulai.
Identifikasi bekal asuh awal akseptor didik bertujuan untuk:
1) Memperoleh berita yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan awal akseptor didik sebelum mengikuti agenda pembelajaran tertentu;
2) Menyeleksi tuntutan , bakat , minat , kemampuan serta kecendrungan peserrta didik berkaitan dengan pemilihan agenda program pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka; dan
3) Menentukan desain agenda pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal akseptor didik.
Teknik Mengaktifkan Bekal Ajar Awal Peserta Didik
untuk mengetahui kemampuan awal akseptor didik , seorang pendidik dapat melaksanakan tes awal (pre-test). Tes yang diberikan dapat berkaitan dengan materi asuh sesuai dengan panduan kurikulum. Selain itu pendidik dapat melaksanakan wawancara , observasi , dan menunjukkan kuisioner kepada akseptor didik atau calon akseptor didik , serta guru yang biasa mengampu pelajaran tersebut. Teknik yang paling sempurna untuk mengetahui bekal asuh awal akseptor didik yaitu tes. Teknik tes ini menggunakan tes prasyarat dan tes awal. Sebelum memasuki pelajaran sebaiknya guru membuat tes prasyarat dan tes awal. Tes prasyarat ialah tes untuk mengetahui apakah akseptor didik telah memiliki pengetahuan keterampilan yang diharapkan atau di syaratkan untuk mengikuti suatu pelajaran. Sedangkan tes awal ialah tes untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah memiliki pengetahuan atau keterampilan mengenai pelajaran yang hendak diikuti. Benjamin S. Bloom melalui beberapa eksperimen menunjukan bahwa “untuk berguru yang bersifat kognitif apabila pengetahuan atau kecakapan pra syarat ini tidak dipenuhi , maka betapa pun kualitas pembelajaran tinggi , maka tidak akan menolong untuk memperoleh hasil berguru yang tinggi”. Hasil pretest juga sangat berkhasiat untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan yang dimiliki dan sebagai perbandingan dengan hasil yang dicapai setelah mengikuti pelajaran. Makara kemampuan awal sangat diharapkan untuk menunjang pemahaman siswa sebelum diberi pengetahuan gres karena kedua hal tersebut saling berhubung.
VI. MENGIDENTIFIKASI DAN MENGATASI KESULITAN BELAJAR SISWA
A. Pengertian Kesulitan Belajar Siswa
Hamalik (hal: 1983) menyatakan kesulitan berguru dapat diartikan sebagai keadaan di mana akseptor didik tidak dapat berguru sebagaimana mestinya. Keadaan tersebut tidak bisa diabaikan oleh seorang pendidik karena dapat menjadi penghambat tujuan pembelajaran. Kesulitan berguru tidak hanya disebabkan oleh faKtor intelegensi yang rendah , akan tetapi bisa disebabkan oleh faktor-faktor nonintelegensi. Oleh karena itu , IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Wood (2007:33) menyatakan kesulitan berguru ialah suatu kondisi dalam proses berguru yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan-hambatan tersebut diakibatkan oleh faktor yang berasal dari dalam diri akseptor didik maupun luar diri akseptor didik.
B. Jenis-Jenis Kesulitan Belajar Siswa
Empat jenis kesulitan/gangguan berguru dalam perkembangan seorang anak:
1. Kesulitan berguru akademis , meliputi kesulitan membaca , kesulitan menulis , dan kesulitan berhitung.
2. Gangguan simbolik , yaitu ketidakmampuan anak untuk dapat memahami suatu obyek sekalipun ia tidak memiliki kelainan pada organ tubuhnya.
3. Gangguan nonsimbolik , yaitu ketidakmampuan anak untuk memahami isi pelajaran karena ia mengalami kesulitan untuk mengulang kembali apa yang telah dipelajarinya.
4. Ganguan sosial-emosional , yaitu gangguan yang berasal dari lingkungan dan emosi dalam diri anak.
C. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa
Penyebab kesulitan berguru antara lain sebagai berikut.
1. Faktor intelektual , yaitu inteligensi yang rendah dan terbatas;
2. Faktor kondisi fisik dan kesehatan , termasuk kondisi kelainan , menyerupai kurangnya gizi pada ibu hamil , bayi dan anak , kerusakan susunan dan fungsi otak , dan penyakit persalinan;
3. Faktor sosial ,seperti pengaruh sobat bermain , pergaulan dan lingkungan sekitar;
4. Faktor keluarga , menyerupai keadaan keluarga yang tidak baik dan kurangnya dukungan berguru dari orang tua.
D. Cara Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Cara mengatasi mengatasi kesulitan berguru ialah sebagai berikut.
1. daerah duduk siswa
Anak yang mengalami kesulitan telinga dan penglihatan hendaknya mengambil posisi daerah duduk adegan depan.
2. Gangguan kesehatan
Anak yang mengalami gangguan kesehatan sebaiknya diistirahatkan di rumah dengan tetap memberinya materi pelajaran dan dibimbing oleh orang renta dan keluarga lainnya.
3. Program remedial
Siswa yang gagal mencapai tujuan pembelajaran jawaban gangguan internal , perlu ditolong dengan melaksanakan agenda remedial.
4. Bantuan media dan alat peraga
Penggunaan alat peraga pelajaran dan media berguru kiranya cukup membantu siswa yang mengalami kesulitan mendapatkan materi pelajaran. Misalnya , karena materi pelajaran bersifat abnormal sehingga sulit dipahami siswa.
5. Suasana berguru menyenangkan
Suasana berguru yang nyaman dan menggembirakan akan membantu siswa yang mengalami hambatan dalam mendapatkan materi pelajaran.
E. Rancangan Kegiatan Mengatasi Kesulitan Belajar Peserta Didik
Rancangan mengatasi kesulitan berguru akseptor didik dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Bimbingan Belajar
Bimbingan berguru merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum , prosedur bimbingan berguru dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut : (1) Identifikasi kasus; Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) menunjukkan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar. (2) Call them approach; melaksanakan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan. (3) Maintain good relationship; menciptakan relasi yang baik , penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui banyak sekali cara yang tidak hanya terbatas pada relasi kegiatan berguru mengajar saja , misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler , rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya. (4) Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menjadikan ke arah penyadaran siswa akan problem yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan wacana hasil dari suatu tes , menyerupai tes inteligensi , tes bakat , dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan banyak sekali tindak lanjutnya. Melakukan analisis terhadap hasil berguru siswa , dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan berguru yang dihadapi siswa. (5) Melakukan analisis sosiometris; dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan Penyesuaian social
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis , karakteristik kesulitan atau problem yang dihadapi siswa. Dalam konteks proses berguru mengajar , permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi problem siswa , Prayitno dkk. telah menyebarkan suatu instrumen untuk melacak problem siswa , dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa , seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) relasi sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama , nilai dan moral; (h) relasi muda-mudi; (i) keadaan dan relasi keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing , pemberian derma bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun , jikalau permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya peran guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada jago yang lebih kompeten.
MODUL LENGKAP , SOAL KK PROFESIONAL BACA DI SINIMODUL LENGKAP , LK , SOAL KK PEDAGOGIK BACA DI SINI
0 comments:
Post a Comment